bunyigedebruk sebatang beringin di pinggiran sajak-sajakmu. 2022. Ikuti tulisan menarik Gilang Perdana lainnya di sini. Teroka dan Sayembara Mengarang Puisi Memperingati 100 Tahun Chairil Anwar Dibaca : 1.997 kali. Grup Teroka Tempo dan Indonesiana.id menggelar sayembara mengarang puisi memperingati kelahiran
66tahun sudah bangsa ini merdeka, namun cita-cita kemerdekaan yang telah diletakkan para pendiri bangsa ini belum juga tercapai. Meski tak kita pungk
menghisapsebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak - kanak tanpa pendidikan aku bertanya tetapi pertanyaan - pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis - papantulis para pendidik
Padapuisi "Sajak Sebatang Lisong" karya WS Rendra yang sudah dikenal oleh banyak mahasiswa, pelajar dan sastrawan ini memiliki daya tarik tersendiri untuk di analisis karena puisi ini menggunakan diksi yang tepat. Pilihan kata yang digunakan ws rendra untuk menggambarkan suasana hatinya cukup menarik dan dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.
PotretPembangunan dalam Puisi. Sajak Sebatang Lisong. Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka. Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku
Vay Nhanh Fast Money. - Dalam menjalani kegemarannya di bidang sastra, Rendra tidak hanya sekali atau dua kali menyusun puisi. Banyak karyanya yang hingga saat ini masih terus dihayati dan dihargai masyarakat Indonesia. Salah satunya, puisi Rendra yang bertemakan kritik beberapa puisi Rendra yang menyajikan kritik sosial, ditampilkan dalam buku "Potret Pembangunan dalam Puisi". Secara garis besar, isi "Potret Pembangunan dalam Puisi" mengisahkan tentang situasi politik dan ekonomi di Indonesia, beserta kritik moralnya. Potret Pembangunan dalam Puisi Dilansir dari skripsi Analisis Puisi Potret Pembangunan Karya Rendra 2013 oleh Nurdin, pada masanya, Rendra menggunakan puisi sebagai alat untuk menyuarakan pendapatnya. Baca juga Makna Puisi Burung Hitam Karya Rendra Lewat "Potret Pembangunan dalam Puisi", Rendra ingin menggambarkan situasi politik dan sosial di Indonesia kala Zathu Restie dan Muhammad Singgih dalam jurnal Analisis Kritik Sosial dalam Antologi Puisi Potret Pembangunan Karya WS Rendra 2021, beberapa judul sajak yang termuat dalam buku Potret Pembangunan dalam Puisi adalah Sajak Orang-orang Miskin Sajak Joki Tobing untuk Widuri Sajak Seonggok Jagung Sajak Sebatang Lisong. Keempat sajak tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana kehidupan sosial dan politik masyarakat saat itu. Ditandai dengan adanya kesenjangan antara si kaya dan miskin, serta kehidupan sosial kelompok masyarakat waktu itu. Dikutip dari buku 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh 2013 karya Jamal D. Rahman, buku "Potret Pembangunan dalam Puisi" memiliki judul asli "Pamflet Penyair". Buku tersebut pertama kali diterbitkan di Belanda dalam dua bahasa, yakni bahasa Indonesia dan Belanda yang diterjemahkan oleh Hans Teeuw. Baca juga Makna Puisi Sajak Sebatang Lisong Karya Rendra Selanjutnya buku "Potret Pembangunan dalam Puisi" juga diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman, Jepang, dan Inggris. Apabila disimpulkan, isi "Potret Pembangunan dalam Puisi" adalah karya Rendra yang berusaha menyuarakan aspirasi dan kritik sosialnya terhadap pemerintahan. Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Mari bergabung di Grup Telegram " News Update", caranya klik link kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas. Minggu pagi baca-baca puisi karya penyair hebat sekelas Rendra sangat menarik dan terasa masih cukup relevan dengan keadaan sekarang. Misalnya ada kalimat "dua tiga cukong mengangkang" sy jd teringat Anggodo vs KPK........ Puisi ini ditulis tahun 1977, seperti kata orang bijak belajar dari masa lalu untuk masa depan lebih baik, semoga bermanfaat............... Sajak Sebatang Lisong – Rendra Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya, mendengar 130 juta rakyat, dan di langit dua tiga cukong mengangkang, berak di atas kepala mereka Matahari terbit. Fajar tiba. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan. Aku bertanya, tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet, dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan. Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang, tanpa pilihan, tanpa pepohonan, tanpa dangau persinggahan, tanpa ada bayangan ujungnya. ………………… Menghisap udara yang disemprot deodorant, aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya; aku melihat wanita bunting antri uang pensiun. Dan di langit; para tekhnokrat berkata bahwa bangsa kita adalah malas, bahwa bangsa mesti dibangun; mesti di-up-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang. Langit pesta warna di dalam senjakala Dan aku melihat protes-protes yang terpendam, terhimpit di bawah tilam. Aku bertanya, tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya, di bawah iklan berlampu neon, Berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau, menjadi karang di bawah muka samodra. ……………… Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. Diktat-diktat hanya boleh memberi metode, tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan. Kita mesti keluar ke jalan raya, keluar ke desa-desa, mencatat sendiri semua gejala, dan menghayati persoalan yang nyata. Inilah sajakku Pamplet masa darurat. Apakah artinya kesenian, bila terpisah dari derita lingkungan. Apakah artinya berpikir, bila terpisah dari masalah kehidupan. 19 Agustus 1977 ITB Bandung Potret Pembangunan dalam Puisi Lihat Puisi Selengkapnya
Oleh Rahmat Mustakim[1] SAJAK SEBATANG LISONG[2] OLEH RENDRA Menghisap sebatang lisong melihat Indonesia Raya mendengar 130 juta rakyat dan di langit dua tiga cukong mengangkang berak di atas kepala mereka Matahari terbit fajar tiba dan aku melihat delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan Aku bertanya tetapi pertanyaan-pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang mecet dan papantulis-papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan Delapan juta kanak-kanak menghadapi satu jalan panjang tanpa pilihan tanpa pepohonan tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungnya Menghisap udara yang disemprot dedorant aku melihat sarjana-sarjana menganggur berpeluh di jalan raya aku melihat wanita-wanita bunting antri uang pensiunan Dan di langit para teknokrat berkata Bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun mesti diup-grade disesuaikan dengan teknologi yang diimpor Gunung-gunung menjulang langit pesta warna di dalam senja kala dan aku melihat protes yang terpendam terhimpit di bawah tilam Aku bertanya tetapi pertanyaanku membentur jidat penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian Bunga-bunga bangsa tahun depan berkunang-kunang pandang matanya berjuta-juta harapan ibu dan bapak menjadi gebalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samudra Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing diktat-diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya keluar ke desa-desa mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata Inilah sajakku pamflet masa darurat apakah artinya kesenian bila terpisah dari derita lingkungan apakah artinya berpikir bila terpisah dari masalah kehidupan Kepadamu aku bertanya Agustus, 1978 I PROLOG. Kita mengenal kepenyairan Rendra mengerikan, mencekam. Keras. Sajaknya kebanyakan terlihat selalu memprotes apa yang meresahkan kita. Setidaknya, membenarkan apa yang salah. Tentang ketidakadilan, kesemena-menaan yang berteriak dalam sajak. Menjijikkan itu! Meski sebelumnya, kau mengelak dari sana menulis tentang anggur dan rembulan. Dan sajakmu telah bersungguh-sungguh bermetamorfosis. Bersyukurlah karena Negeri Paman Sam mendidikmu. Ah, Rendra, melantanglah lagi kepada yang belum bersetubuh dengan Blues Untuk Bonnie. Buat apa kau teriak-teriak bodoh, berdemonstrasi tersirat yang konyol; kalau kumpulan sajak liarmu masih sedemikian bertumpuk. Bodohlah mereka yang kau catat. Ah, bukan. Bodohlah mereka yang apatis terhadap beragam persoalan di Negerinya. Rendra, kau sastrawan yang baik, dan lengkap berpuisi sekaligus mempuisikan. Meski diksi puisimu konvensional, tak menyuling kata terlalu puitis. Tapi totalitas bertutur tentang protes sosial yang mendalam, yang berisik didengar. Lebih dari sekedar mengancam biar tuli sekalian. Rendra, izinkanlah saya untuk menghisap lisongmu. II DIALOG. Bukan monolog. Spada! Kita masuk kepada konten sajak. Apa yang termakna pada tiap-tiap baris kata. Sajak protes ini mungkin benda mati, tapi tak menutup kemungkinan dapat bernafas dialogis. Ada subjek-objek yang bercakap-cakap walau diam. Ada kata-kata yang memberontak meski pantang berlarian. Baiklah, nyanyikan. Bait pertama introduksi. Sajak Sebatang Lisong bicara tentang situasi keadaan Negara kita yang tidak sebagaimana mestinya. Tapi belum diperjelas sampai palungnya. Hanya sebatas pengantar yang terdiorama singkat. Ada tiga kata kerja tanpa subjek yang disebut secara eksplisit menghisap, melihat dan mendengar. Siapa yang melakukan? Bisa ditebak. Kalau dicermati, yang menghisap Lisong adalah para petinggi kita yang membaca keadaan sebuah Negeri Menghisap sebatang lisong/ melihat Indonesia Raya/ mendengar 130 juta rakyat. Lalu ada kata cukong’ yang mewakili segala yang tidak beres korupsi, penyelewengan, tindak penindasan, atau praktek dehumanisasi haram yang lain; dua tiga cukong dengan sehina-hinanya, melakukan kesenangannya di atas kaum-kaum yang kecil’ mengangkang/ berak di atas kepala mereka. Bait kedua tentang waktu. Tergambar jelas di suasana pagi Matahari terbit/ fajar tiba. Barangkali penyair berangkat dari jejaknya memandang anak-anak yang seharusnya sekolah, malah bekerja paksa mengamen atau mengemis. Mungkin juga bekerja serabutan seperti buruh pendirian rumah yang tak layak, karena diupah semau gue. Atau yang paling buruk putus sekolah. Ah, nak. Seharusnya kau sedang duduk di bangku-bangku kayu. Dan mendengarkan pendidik memanusiakanmu di pagi yang hangat. Dan aku melihat delapan juta kanak-kanak/ tanpa pendidikan. Bait ketiga sasaran pertanyaan. Aku bertanya/ tetapi pertanyaan-pertanyaanku/ membentur meja kekuasaan yang mecet. Penyair menekankan kalau sajaknya berisi pesan pertanyaan dari rakyat. Sasaran pertanyaan kiranya meliputi para wakil rakyat. Tapi para petinggi kita sungguh kolot tak acuh. Bahkan, Pahlawan Tanpa Tanda Jasa juga apatis terhadap beragam persoalan yang melanda bangsa. Ironi. Dan papantulis-papantulis para pendidik/ yang terlepas dari persoalan kehidupan. Bait keempat ratapan masa depan. Kita kembali dihadapkan pada makna yang sama di bait kedua anak-anak pekerja itu. Bagaimana penuturan Rendra menatap masa depan mereka. Dengan melihat pendidikan mereka yang terpuruk meninggalkan kelas-kelas di mana segudang ilmu terdapat di situ. Apa yang mereka lihat di masa depannya? Ah, bodoh. Pertanyaan yang tak pantas dijawab. Seharusnya, ratakanlah pendidikan. Bukan meratakan kasus suap yang selalu tersorot lampu jalanan. Delapan juta kanak-kanak/ menghadapi satu jalan panjang/ tanpa pilihan/ tanpa pepohonan/ tanpa dangau persinggahan/ tanpa ada bayangan ujungnya. Bait kelima penglihatan penyair, juga waktu. Kalau dilihat baik-baik, baris-barisnya persis seperti pada bait pertama. Modelnya satu ragam. Pemaknaannya tentang situasi kandungan bersih udara yang terlanjur berdegradasi kotor. Menghisap udara/ yang disemprot dedorant. Sepertinya, siang hari lebih banyak menyimpan debu dan asap yang jahat bagi paru-paru manusia. Dari sana, penyair kasihan menghirup beragam bau sampah jalanan; ibaratnya. Seperti mahasiswa yang terpaku pada dosen. Akibatnya, pikiran dipersempit cakupan ilmunya. Yang terjadi selanjutnya Fresh Graduate yang meratap kelulusan paksa; yang hanya ingin niat bergelar sarjana. Aku melihat sarjana-sarjana menganggur/ berpeluh di jalan raya. Selain mahasiswa, Rendra menempatkan orang-orang yang selalu ingin dibayar, tapi malas dalam kerjanya aku melihat wanita-wanita bunting/ antri uang pensiunan. Bait keenam yang melakukan. Merujuk kepada kisah di bait pertama kalau teknokrat sedang senyum-senyum santainya di langit dan cuek melihat kondisi rakyat yang buruk. Dan di langit/ para teknokrat berkata Bait ketujuh sindiran. Teknokrat bukan semata yang dielu-elukan kesalahannya, juga bangsa kita sendiri yang harusnya sadar. Sadar pada pernyataan kelam yang dicibir Rendra. Kalau bangsa kita masih awam pikirannya tak mau berbenah diri, lalu gaptek; atau tak mau melek soal perkembangan iptek. Diibaratkan guru-guru kita yang masih terjerat sistem pada pengajarannya. Mereka malas kreatif. Bahwa bangsa kita adalah malas/ bahwa bangsa mesti dibangun/ mesti diup-grade/ disesuaikan dengan teknologi yang diimpor. Bait kedelapan pencitraan. Sepertinya ini waktu saat kumpulan burung camar beterbangan. Gunung-gunung menjulang/ langit pesta warna di dalam senja kala. Pembaca sajak atau yang membacakan’ diajak mendangak ke atas lebih melotot kepada persoalan kita. Kondisi kekinian yang selalu melukai sejarah, kalau sejarah tahu. Ah, pahlawan kita selalu menangis acap kali perang terus didendangkan, padahal status adalah merdeka. Kita diajak lebih dekat. Lebih dekat dari langkah seorang wartawan. Sekali lagi. Dan aku melihat/ protes yang terpendam/ terhimpit di bawah tilam. Bait kesembilan pertanyaan kembali. Aku bertanya/ tetapi pertanyaanku. Menjauh dari wakil rakyat, kita melangkah ke lingkungan para seniman. Seorang Rendra yang seniman sastrawan ulung sekalipun, dengan beraninya menyindir penyair-penyair yang selalu bersyair tentang keindahan. Padahal keburukan sepatutnya baik untuk dicatat. Padahal di sekitar, beragam persoalan membuntutinya. Ah, Rendra ingin merobek pikirannya. Ah, bodohlah penyair yang masa bodoh itu membentur jidat penyair-penyair salon/ yang bersajak tentang anggur dan rembulan/ sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya. Serta dikorelasikan lagi dengan si pekerja cilik yang ditokohkan Rendra. Ah, mereka lagi. Yang selalu dibiarkan terlantar dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan/ termangu-mangu di kaki dewi kesenian. Bait kesepuluh harapan. Rendra nampak pesimis bunga-bunga bangsa tahun depan/ berkunang-kunang pandang matanya. Kita yang masih menatap masa depan, akan ke mana pada akhirnya? Itu yang dipersoalkan oleh Rendra. Kalau banyak berita kecewa di surat kabar, tak membuka kemungkinan bangsa akan maju. Apa yang mesti diharapkan? Yang belum terjawab adalah pekerjaan rumah bagi Negara, juga kita. Tuntunlah mereka untuk membalikkan peradaban yang usang. Mereka cikal-bakal nakhoda kapal kita Indonesia. Jangan sampai karam. Berjuta-juta harapan ibu dan bapak/ menjadi gebalau suara yang kacau/ menjadi karang di bawah muka samudra. Bait kesebelas sepenuhnya ingin membukakan otak-otak manusia yang dangkal. Pekalah! Bagi yang selalu akan menjadi buruh, bukan guru. Kita harus sadar, kalau kita masih tertidur di bawah pangkuan atasan. Kita mesti berhenti membeli rumus-rumus asing/ diktat-diktat hanya boleh memberi metode/ tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan/ kita mesti keluar ke jalan raya/ keluar ke desa-desa/ mencatat sendiri semua gejala/ dan menghayati persoalan yang nyata. Bait kedua belas menegaskan sajaknya. Inilah sajakku/ pamflet masa darurat. Sekali lagi, bukalah mata bagi yang apatis terhadap keadaan yang ganjil. Biar seniman yang hidup sebebas-bebasnya sekalipun. Seni tak berarti seni bila buta akan permasalahan. Apakah artinya kesenian/ bila terpisah dari derita lingkungan. Sekali lagi, pekalah! Apakah artinya berpikir/ bila terpisah dari masalah kehidupan. Bait ketiga belas yang ingin ditujukan oleh pertanyaan-pertanyaan lantang. Kepadamu aku bertanya. Setidaknya, semua harus paham akan jawaban yang hendak dijawab. Meski terlambat, karena kritik pedas sudah menjamur. III EPILOG. Bagi saya, sajak ini termasuk yang hebat di tahunnya. Posisi sajak protes Sajak Sebatang Lisong pada garis waktu puisi modern, barangkali menjatuhkan harga puisi sebelumnya yang bertahan di garis puisi lama. Rendra termasuk penyair yang ada di peralihan puisi lama dan puisi modern; sedikit catatan. Akhir kalam, tak usah berkelit bagi yang merasa dibicarakan. Dengarlah baik-baik kalau kita mesti hadap masalah. Kritik-oto-kritik yang harus selalu hidup. Dialogis. Kritiklah tentang gejala sosial, pendidikan, atau yang lain. Kasihan, jurnalis kita selalu kepayahan mencatat. Ah, itu memang tumpuan hidupnya. Biarkanlah begitu sebegitu adanya. Perlu diketahui juga, kalau Sajak Sebatang Lisong punya dua versi. Antara hilang-tidaknya baris semata wayang’ di bait terakhir. Entahlah, mengapa demikian. Sebelum akhir titik tertulis; semoga besar harap, kita selalu peka akan segala tindak dehumanisasi membelalakkan mata yang awas. Ditulis Ciracas, 19 Mei 2013 Mahasiswa Prodi Pendidikan Ekonomi Koperasi angkatan 2011 yang sok-sokan bicara tentang sastra. Sajak yang terpilih untuk dibacakan oleh penulis pada acara festival seni UNJ berikut serta memeriahkan Dies Natalies UNJ ke 49. Akan dibacakan pada Rabu, 22 Mei 2013.
makna puisi sajak sebatang lisong